Orang yang tidak Boleh Menerima Zakat

Zakat adalah salah satu rukun Islam yang sudah seharusnya diperhatikan ketentuan-ketentuannya, di antaranya adalah larangan-larangan agar tidak memberikan zakat kepada sembarang orang. Berikut ini di adalah orang-orang yang tidak boleh diberi zakat:

1. Orang kaya dan orang-orang kuat yang tersedia untuknya pekerjaan.

Hal itu berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

لاَ حَظَّ فِيْهَا لِغَنِيٍّ، وَلاَ لِقَوِيٍّ مُكْتَسِبٍ

“Zakat itu tidak diperuntukan bagi orang kaya, demikian pula orang kuat yang memiliki kesempatan bekerja”.[1]

Kecuali jika dia seorang Amil dan Garim yang kaya, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, demikian pula orang yang mampu untuk bekerja hanya saja sibuk menuntut ilmu agama, dia pun tidak memiliki harta sehingga boleh baginya diberikan zakat, hal itu karena menuntut ilmu agama termasuk Jihad di jalan Allah. Sedangkan orang yang mampu bekerja dan dia sibuk beribadah dengan meninggalkan pekerjaannya, atau dia sibuk dengan ibadah-ibadah sunnah maka tidak berhak diberikan zakat, karena ibadah seperti itu kemanfaatannya terbatas bagi si pelaku berbeda dengan ilmu.

2. Orang tua ke atas, anak-anak ke bawah dan istri yang wajib dinafkahi.

    Zakat tidak boleh diberikan oleh seseorang kepada orang-orang yang wajib  dia nafkahi seperti bapak, ibu, kakek dan seterusnya, demikian pula anak-anak, cucuk dan seterusnya, karena pemberian zakat kepada mereka bisa menggantikan nafkah, yang pada akhirnya kemanfaatan zakat itu –seolah-olah– kembali kepada muzakki (yang memberikan zakat)[2].

    3. Orang-orang kafir selain muallaf.

    Tidak boleh memberikan zakat kepada mereka, hal itu berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

    تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ، وَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ

    “Diambil dari orang-orang kaya diantara mereka, dan dikembalikan kepada orang-orang fakir diantara mereka”.

    Yakni diambil dari orang-orang kaya di kalangan kaum muslimin dan diberikan kepada orang-orang fakir di kalangan kaum muslimin bukan yang lainnya. Dan karena maksud dari zakat itu sendiri adalah memberikan kecukupan bagi orang-orang fakir di kalangan kaum muslimin, demikian pula memperkuat ikatakan cinta dan persaudaraan antara komponen masyarakat Islam, dan hal itu – tentunya – tidak boleh antara orang-orang kafir.

    4. Keluaga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

    Zakat tidak halal bagi keluarga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, hal itu untuk memuliakan kedudukan mereka, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:  

    إِنَّهَا لاَ تَحِلُّ لآلِ مُحَمَّدٍ إِنَّمَا هِيَ أَوْسَاخُ النَّاسِ

    “Zakat itu tidak halal bagi keluarga Muhammad, ia hanyalah kotoran badan manusia”.[3]

    Keluarga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dimaksud adalah Bani Hasyim dan Bani Muthallib, ada juga yang mengatakan Bani Hasyim saja. Dan inilah pendapat yang benar, karena itu maka zakat bisa diberikan kepada keturunan Bani Muthallib, karena mereka bukan keluarga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan karena keumuman firman Allah subhanahu wa ta’ala:   

    ۞إِنَّمَا ٱلصَّدَقَٰتُ لِلۡفُقَرَآءِ

    “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir”. (At-Taubah [9]: 60)

    Masuk ke dalam ayat tersebut keturunan al-Muthallib.

    5. Mawali keluarga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

    Hal itu berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

    إِنَّ الصَّدَقَةَ لاَ تَحِلُّ لَنَا، وَإِنَّ مَوَالَيَ الْقَوْمِ مِنْ أَنْفُسِهِمْ

    “Sungguh shadaqah itu tidak halal bagi kami, dan sungguh mawali suatu kaum termasuk mereka sendiri”.[4]

    Mawali suatu kaum maksudnya budak-budak yang dimerdekakan oleh mereka, maksud “Termasuk mereka sendiri” hukum mereka sama seperti hukum orang yang memerdekakan mereka, walhasil zakat pun haram bagi orang-orang yang dimerdekakan oleh Bani Haysim.

    6. Budak.

    Tidak boleh memberikan harta zakat kepada budak, karena harta budak adalah harta bagi tuannya. Jika zakat diberikan kepada seorang budak maka harta itu beralih menjadi milik tuannya, dan karena kebutuhannya adalah kewajiban tuannya, kecuali Mukatab yang diberikan harta zakat untuk melunasi cicilian dirinya, demikian pula ketika seorang hamba yang menjadi amil zakat, karena posisi dia sebagai pekerja dan seorang budak boleh bekerja dengan izin tuannya.

    Barang siapa yang memberikan zakat kepada golongan-golongan di atas sementara dia tahu bahwa itu tidak boleh, maka dia berdosa.


    [1] Diriwayatkan oleh Ahmad (5/ 363), Abu Dawud (1633), an-Nasai (5/ 99) dan dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih an-Nasai (2435)

    [2] Hal itu karena dia tidak memberikan lagi nafkah kepada mereka.

    [3] Diriwayatkan oleh Muslim (1072)

    [4] Diriwayatkan oleh Abu Dawud (1650), at-Tirmidzi (652) dengan lafazh milik beliau (652), dan al-Hakim (1/ 404). At-Tirmidzi berkata: “Hasan shahih”, dishahihkan oleh al-Hakim dan disepakati oleh ad-Dzahabi, dishahihkan pula oleh al-Albani (Shahih at-Tirmidzi no. 530)

    One comment

    Leave a Reply

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *