Perbedaan Pendapat Para Ahli Fiqih Tentang Zakat Orang Yang Memiliki Utang

بسم الله الرحمن الرحيم

Pendapat pertama:
Utang tidak menjadi sebab yang menghalangi zakat.

Orang yang memiliki harta yang telah sampai nishâb dan telah tiba haulnya, maka ia wajib menunaikan zakat, bagaimana pun keadaan utangnya, ini adalah pendapat Imam Asy-Syâfi’i rahimahullah dalam qaul jadidnya2, Rabî’ah, Hammâd bin Abî Sulaimân. Karena pemilik harta itu merdeka, dia menguasai harta yang telah sampai nishab dan haul, maka wajib baginya zakat seperti orang yang tidak memiliki utang. Ini adalah pendapat yang dianggap râjih (kuat) oleh banyak ulama.

Dalil yang menunjukkan bahwa utang tidak menjadi sebab penghalang zakat:

1. Keumuman dalil wajibnya zakat untuk harta yang telah sampai kepada nishab, di antaranya:

Allah ‘azzawajalla berfirman:

خُذْ مِنْ أَمْوَٰلِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِم بِهَا

Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka.
[QS. At-Taubah: 103]

Dari ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu‘anhu, Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam bersabda:

إِذَا كَانَتْ لَكَ مِائَتَا دِرْهَمٍ وَحَالَ عَلَيْهَا الْحَوْلُ فَفِيهَا خَمْسَةُ دَرَاهِمَ، وَلَيْسَ عَلَيْكَ شَيْءٌ يَعْنِي فِي الذَّهَبِ حَتَّى يَكُونَ لَكَ عِشْرُونَ دِينَارًا، فَإِذَا كَانَ لَكَ عِشْرُونَ دِينَارًا وَحَالَ عَلَيْهَا الْحَوْلُ فَفِيهَا نِصْفُ دِينَارٍ، فَمَا زَادَ فَبِحِسَابِ ذَلِكَ.

“Jika kamu mempunyai 200 dirham dan sudah mencapai haul, maka zakatnya 5 dirham, kamu belum wajib zakat emas kecuali jika sudah memiliki 20 dinar, dan jika sudah mencapai 20 dinar, kemudian sudah mencapai haul, maka zakatnya adalah ½ dinar, begitu pula jika lebih dari itu, maka cara menghitung zakatnya sama.”
[HR. Abu Daud no. 1575 dan dishahihkan oleh Al-Albani]

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ مُعَاذًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ إِلَى الْيَمَنِ فَقَالَ ادْعُهُمْ إِلَى شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً فِي أَمْوَالِهِمْ تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ وَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ.

“Ketika Nabi shallallahu‘alaihiwasallam mengutus Mu’adz radhiyallahu’anhu ke Yaman, beliau berkata, “Ajaklah mereka kepada syahadat (persaksian) bahwa tidak ada ilah (sembahan) yang benar kecuali Allah dan bahwa aku adalah utusan Allah. Jika mereka telah menaatinya, maka beritahukanlah bahwa Allah mewajibkan atas mereka shalat lima waktu sehari semalam. Dan jika mereka telah menaatinya, maka beritahukanlah bahwa Allah telah mewajibkan atas mereka shadaqah (zakat) dari harta mereka yang diambil dari orang-orang kaya mereka dan diberikan kepada orang-orang fakir mereka.”
[HR. Al-Bukhari dan Muslim]

2. Rasulullah shallallahu‘alaihiwasallam memerintah pegawai untuk menagih zakat dari orang-orang yang wajib menunaikannya, namun beliau tidak pernah memerintah petugas itu untuk bertanya terlebih dahulu kepada yang wajib zakat, apakah mereka punya utang atau tidak. Karena jika seandanya utang itu dapat menjadi penghalang zakat, niscaya Nabi akan memerintah untuk menggali informasi terlebih dahulu terkait keberadaan utang.

Syaikh bin Bâz rahimahullah berkata:

“Ini adalah pendapat yang benar sebagai bentuk pengamalan atas keumuman dalil dan karena tidak ada dalil pengkhusus yang baik untuk dijadikan pegangan, Allâhu A’lam.”3
Pendapat kedua:
Utang dapat menjadi penghalang zakat secara mutlak, baik kategori hartanya adalah harta lahir maupun harta batin. Ini adalah riwayat pertama dari Imam Ahmad rahimahullah.

Pendukung pendapat ini berdalil dengan hadits dari ‘Utsmân bin ‘Affan radhiyallahu’anhu, ia berkata:

هَذَا شَهْرُ زَكَاتِكُمْ فَمَنْ كَانَ عَلَيْهِ دَينٌ فَلْيُؤدِّهِ حَتَّى تُخْرِجُوْا زكَاةَ أَمْوَالِكُمْ.

“Ini adalah bulan bagi kalian untuk menunaikan zakat, maka siapa saja yang memiliki utang, hendaknya bayar, agar kalian dapat mengeluarkan zakat harta kalian.4

Namun justru dalil ini malah lebih menguatkan pendapat pertama yang mengatakan bahwa utang tidak menjadi penghalang zakat, karena utang itu jika jatuh tempo, harus dibayar sebelum tiba haul, maka seharusnya seseorang lebih mendahulukan pembayaran utang daripada zakat, karena zakat itu tidaklah wajib kecuali telah sampai kepada haulnya. Dan jika seseorang membayar utangnya sebelum haul, maka kewajiban dia hanyalah menzakati sisa hartanya, jika masih sampai kepada nishab.5

Pendapat ketiga:
Utang hanya menjadi penghalang zakat pada harta batin saja (emas, perak dan barang dagangan), namun tidak menjadi penghalang zakat pada harta yang lahir (unta, sapi, kambing, biji-bijian dan buah-buahan). Ini adalah riwayat kedua dari Imam Ahmad.6

Dalil pendapat ini adalah keumuman dalil tentang wajibnya zakat yang sudah sampai nishab, dan bahwasanya Nabi mengutus para pegawai untuk menagih zakat dari pemilik binatang ternak dan buah-buahan, namun beliau tidak memerintah petugas itu untuk bertanya terlebih dahulu, apakah punya utang atau tidak.

والله أعلم


  1. Diringkas dari kitab Az-Zakât Fil Islâm Fi Dhau`il Kitâbi Was Sunnah, karya Syaikh Sa’îd Al-Qahthâni, (halaman 55). ↩︎
  2. Al-Mughni karya Ibnu Qudâmah (6/263) dan Syarhul Kabîr bersama Al-Muqni’ dan Al-Inshâf (6/338) ↩︎
  3. Majmu’ Fatâwa karya Ibnu Bâz (14/31-31), Lihat Al-Mughni karya ibnu Qudâmah (4/263-265) dan Asy-Srahul Kabîr (7/340) ↩︎
  4. Diriwayatkan oleh Mâlik dalam Al-Muwaththa (1/253), Ibu Syaibah (4/48) dan Baihaqi (3/148), dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Al-Irwa (3/260) ↩︎
  5. Asy-Syarhul Mumti’ (6/36) ↩︎
  6. Al-Mughni karya Ibnu Qudamah (4/263-277), Al-Muqni Wa Asy-Syarhul Kabîr Wak Inshâf (6/338-342). ↩︎

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *